“
BUCENG, NASI BIASA YANG
TIDAK BIASA”
Melestarikan
budaya nenek moyang? Sebuah pertanyaan yang tidak setiap orang mampu untuk
menyikapi dengan benar. Lestarikan budaya nenek moyang, nyengkuyung budaya Jawi. Berbagai tanda dan tanya bergejolak dalam
hati saya ketika muncul kata “Bucengan”. Tidak setiap teman mahasiswa mampu
menjawab pemahaman makna kata dan simbul kebermaknaannya, baik verbal maupun
makna nonverbal. Bahkan mungkin jika saya juga menanyakan kepada masyarakat lokal
tertentu, kenyataannya
kebermaknaan bucengan ini tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Di balik sesuatu
yang maujud (nyata oleh mata) ada
makna mendasar yang tersimpan dan
memancarkan kekuatan batin berupa doa. Kembali terngiang dalam benak saya, pernyataan dari pembimbing
akademis saya, Bapak Saptono Hadi, M.Pd. Selanjutnya, kembali sebuah pertanyaan
yang ditujukan kepada saya, “Sudah berapa lama kamu mengenal tumpeng dan buceng?
Berapa banyak variasi tumpeng dan buceng yang pernah kamu lihat dalam
acara-acara adat?” dua istilah yang saling berkaitan satu sama lain. Sikap
asumsi ini menjadikan berjuta rasa penasaran terhadap pernyataan itu. Pada akhinya
sebuah keberanian terpendam dalam diri saya untuk mencoba menggali kemaknaan
buceng dengan segala simbol di dalamnya. Tantangan ketajaman berpikir dan
goresan tajam pena saya sedang diuji oleh beliau.
Sebuah
pertanyaan bagi setiap orang, mungkin! Sudah berapa lama eksistensi buceng ini?
Tak dapat diketahui dengan pasti sejak kapan adat buceng ini mengawali
eksistensinya. Yang pasti,
kajian beberapa langkah maju dengan mencoba menggali dari beberapa pinisepuh
kebermaknaan tumpeng bucengan di wilayah Bendogerit
tepatnya merupakan salah satu perangkat sesaji
yang cawis (tersaji) untuk keperluan
selamatan atau upacara doa. Bahkan beberapa pinisepuh Jawa, dimaknai sebagai kerata basa (singkatan kata, Bahasa
Jawa) bahwa tumpeng berasal dari singkatan menute
ben mempeng maksudnya keluarnya terus menerus (bahasa Jawa). Pemahaman ini
menurut sumber dimaksudkan dengan keterkaitan dengan keluarnya rezeki dan
barokah Allah swt yang terus menerus kepada manusia. Sedangkan buceng di-kerata
basa sebagai sebute sing kenceng, ini dimaksudkan pada kasanah tata cara berdoa
(doanya yang giat, bahasaJawa).
“Upacara adat itu merupakan kajian dalam dunia
folklor sebagian lisan, maksudnya folklor yang bentuknya merupakan campuran
unsur lisan dan bukan lisan”. Pola pikir bagaimana cara menyikapi dan bertindak
menghadapi sesuatu kembali merasukiku untuk aktif berpikir. Proses transformasi
etos dalam diri, maksudnya perubahan mendasar dalam mentalku terutama dalam
cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai benar-benar membawaku untuk
bertindak melakukan kajian kebermaknaan bucengan ini.
Buceng merupakan
bagian upacara adat yang dalam pelaksanaannya, upacara adat ini membutuhkan
“ubo rampen” atau sesaji dengan runtutan lakuan sebagai sebuah kepercayaan
masyarakat. Sesaji atau ubo rampen ini sebagai makna simbolis yang digunakan
sebagai sarana spiritual atau kepercayaan kepada hal yang bersifat gaib.
Prosesi, makna dan simbolis adat “Bucengan” ini mengkaji dan mengungkap makna komunikasi
ritual yang membedah maksud-maksud tertentu kebermaknaan simbolisme bucengan
sebagai bagian ritual kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Proses pembuatan buceng dahulu dan sekarang sudah
mengalami perubahan budaya. Dahulu proses dilakukan dengan membuat nasi yang
dikaron dimasukkan dan dipadatkan ke dalam sebuah alat kukusan, selanjutnya
proses dimasak dan keluar dalam wujud tumpeng/buceng. Namun sekarang, proses pembuatan buceng dilakukan
dengan nasi yang sudah masak, dicetak ke dalam cetakan. Buceng sendiri mesti
dilengkapi dengan berbagai ube rampen lain yang secara keseluruhan tergantung
pada tujuan doa tersebut. Kebakuan kelengkapan bucengan adalah sayur-mayur
(tertentu) dan lauk-pauk (tertentu) disajikan secara bersama. Komponen bucengan
ini secara keseluruhan bermakna doa. Menjulang bagaikan gunung, buceng adalah
pusat doa, pusat semesta, dan dimaknai sebagai penyeimbang dunia. Seperti yang
disampaikan oleh Mbah Midjo pinisepuh yang tinggal di Kelurahan Bendogerit.
Selanjutnya disampaikan bahwa buceng itu dinisbahkan kepada manusia yang sedang
didoakan dengan tujuan diharapkan manusia itu dalam kehidupannya sukses lahir dan
batin mulus tanpa lika-liku seperti mulusnya buceng yang berpuncak lancip.
Gunung itu dimaknai sebagai simbol kemakmuran, karena daerah di sekitar area
pegunungan sipastikan subur. Menurut Mbah Karjan, juga salah satu pinisepuh di
desa Bendogerit, buceng ini juga dimaknai perumpaan kehidupan jiwa yang
menanjak naik, mencapai kesadaran Illahi yang berpuncak ma’rifatullah. Puncak
kehidupan itulah tujuan hidup kita. Dan dikatakan bahwa keiklasan batin inilah
yang utama. Dan dipastikan jika buceng itu diambil pucuknya, akan diberikan kepada
orang
yang dianggap paling penting dan istimewa.
Sebuah hal kecil
yang jika dikaji secara mendalam akan menghasilkan
filosofi hidup yang berbeda dan luar biasa maknanya. Makna nonverbal,
simbul ritual ini juga terbentuk pada sesaji bucengan. Seperti yang disampaikan
Surjono bahwa uceng kuat dinyatakan sebagai simbul kekuatan. Buceng yang bagian
ujungnya berupa ketan. Dimaknai bahwa masyarakat yang melakukan sesaji
mengharapakan keselamatan, kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Sesaji ini padadasarnya sebagai simbul yang
diperuntukkan kepada yang Maha Kuasa
dengan tujuan selamatan. Jenang sengkolo merupakan simbol meminta keselamatan.
Sengkolo yang berarti malapetaka, maka dimaksudkan bahwa penggunaan jenang
sengkolo ini pada ritual sesaji bucengan dimaknai sebuah harapan dari pengguna
agar diberikan keselamatan apabila terjadi musibah dan mencegah malapetaka yang
telah terjadi agar tidak terulang kembali. Makna sego golong dinyatakan sebagai
menyatukan tujuh hari, tujuh malam, lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas
bulan, empat minggu. Sego golong ini dimaknai kemajemukan waktu dan hari. Bahwa
sejak dalam kandungan sang ibu, manusia dibayang-bayangi oleh naga kala atau
bahaya. Maka ketika manusia lahir harus berhati-hati karena di segala penjuru
angin selalu ada naga kala. Begitu seperti yang dsampaikan oleh Doyodipuro.
Selanjutnya disampaikan, bahwa setiap manusia lahir ke dunia ini memiliki
ancaman pada waktu, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun tertentu pada saat
naga kala berada dipenjurunya. Berdasarkan pada pandangan ini maka manusia
berusaha untuk meminta keselamatan kepada Yang Mahakuasa melalui ritual adat
bucengan dengan menggunakan sego golong sehingga yang bersangkutan diberikan
keselamatan atas semua waktu. Selanjutnya sego gurih atau sego wuduk,
dimaksudkan nasi putih yang diberi santan, daun salam dan garam, sehingga
terasa gurih. Sego gurih ini juga disebut nasi rasul, karena nasi ini bagi
orang jawa merupakan permohonan keselamatan, kesejahteraan Nabi Muhammad SAW
dan para sahabat. Menurut Giri,
sego wuduk itu berasal dari pemahaman dari kata wudlu. Selain itu Giri juga
menjelaskan bahwa lodho sego gurih ini dimaknai sekul suci ulam sari, hal ini dimaksudkan
sebagai simbul persembahan kepada Nabi Muhammad saw dengan maksud pengguna
mempunyai harapan untuk mendappatkan petunjuk dari Nabi supaya apa yang
diinginkan diijabahi oleh Allah SWT. Lodho gurih berasal dari kata tuladha yang
bermakna contoh.
Giri menjelaskan
bahwa hal ini dimaksudkan Nabi Muhammad tuntunan kita (umat Islam) selalu
memberikan tuntunan yang baik, selain makna ini juga ditujukan kepada Sunan
Kalijaga. Timbul pertanyaan kenapa kepada Sunan Kalijaga? Tidak dapat
dipungkiri bahwa beliau inilah yang telah mengubah ritual sesaji yang
sebelumnya dengan tujuan untuk berbakti kepada roh-roh halus, menjadi sebuah
ritual adat sesaji yang mengarah pada ibadah sedekah atau tata cara pemberian
sedekah. Oleh karena itu selamatan bucengan ini merupakan adat yang diarahkan
sebagai sarana bersedekah. Selanjutnya Giri juga menyampaikan bahwa simbol ayam
lodho diingkung ini dimaknai sebagai sikap pasrah dan menyerah akan kekuasaan
Tuhan Yang Mahakuasa, dan orang jawa mekamnai kata ingkung dengan pengertian
dibanda atau dibelenggu. Sedangkan makna dari penggunaan pisang rojo temen
(pisang ayu), Giri menjelaskan bahwa simbul itu mengarah pada adanya tuntunan
dari Siti Fatimah.
Sebuah harapan
bahwa pemerintah daerah selayaknya tetap menjaga
mengelola komunitas baik melalui dinas pariwisata maupun instansi kebudayaan
Jawa. Pemahaman kajian terkait ritual sebagai budaya Jawa yang dianggap sebagai
pandangan negatif (dengan maksud lain) atau mengabdi kepada makhluk halus atau
roh hendaknya pandangan ini mulai diluruskan pemaknaannya. Artinya pemerintah
wajib melakukan
sosialisasi bahwa adat budaya ini sebagai bagian dari budaya Jawa sehingga
tidak membelokkan akidah. Nilai adalah sesuatu yang berguna bagi seseorang atau
sekelompok orang dan karenanya orang atau kelompok itu selalu berusaha untuk
mencapainya karena pencapaiannya sangat memberi makna kepada diri serta seluruh
hidupnya. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta
prinsip-prinsip umum dalam
bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai
sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat
sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu, nilai merupakan
sesuatu yang dianggap sangat berharga. Begitu juga yang terjadi dengan budaya
“Bucengan” dalam kehidupan masyarakat Kota Blitar. Bucengan ini merupakan adat
budaya yang memberikan nilai (value)
kebermaknaan lebih bagi kehidupan masyarakatnya. Sudah selayaknya jika budaya
atau tradisi ini sangatlah berharga.
Dalam
hal ini menurut Toro, bucengan di kota Blitar buceng masih berharga dengan
adanya acara haul Bungkarno, lahirnya pancasila, serta mengenang Adipati Aryo
Blitar. Buceng pancasila meskipun berbeda dengan buceng yang dikatakan di atas,
pada intinya semua untuk keselamatan rakyat Blitar. Buceng pancasila ini
terbuat dari hasil bumi masyarakat blitar yang dikemas menjadi buceng besar
kemudian di arak keliling Blitar dan kemudian diperebutkan oleh warga Blitar
dengan harapan mendapatkan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan.
Selamat Membaca....^_^
Daftar Rujukan:
Bapak Saptono Hadi, M.Pd.
Mbah Karjan
Pak Giri
Pak Toro
Komentar
Posting Komentar